6.16.2012

Filled Under:
, , ,

Cerita Cinta Remaja_Kasih tak sampai

Cerita cinta Remaja_Kasih Tak Sampai


Dini ...     
cerita cinta remaja
      Pagi itu aku berjalan menelusuri koridor sekolah yang tampak sepi. Wajar saja, waktu masih menunjukkan pukul 06.40. Terlalu awal untuk memulai aktivitas. “Hai Dini, Pagi !” sapa beberapa murid padaku. “Pagi teman-teman !”. Aku membalas sapaan mereka sambil melambaikan tangan dan tersenyum ceria. Ya ! Akulah Dini, Dini Riskayanti. Murid kelas X SMA yang paling gemar membuat majalah dinding. Hampir setiap majalah dinding di sekolah maupun di rumah tak luput dari karya-karyaku. Ya, aku memang senang berkreasi, menuangkan setiap karya-karya di dalam sebuah lembaran kertas agar dapat menjadi inspirasi bagi orang lain.

      Pagi ini memang tidak begitu cerah. Tak terdengar kicauan burung yang dulunya senantiasa mewarnai hariku. Namun aku tetap bersemangat ke sekolah dengan menjinjing sebuah tas ransel berwarna merah di pundakku. Dengan langkah gontai bak seorang penari yang sedang beratraksi di atas panggung, aku berjalan menuju perpustakaan. Perpustakaan dengan cat putih itu cukup kecil namun masih mampu memuat berbagai jenis buku.

      Keadaan terasa hening, di tempat itu aku hanya melihat Ibu Dian, si penjaga perpustakaan yang memecah keheningan dengan suara tumpukan buku-buku yang sedang di bereskannya. Aku melangkah mendekati pintu perpustakaan sambil celingak celinguk. Saat aku menoleh pada pojok perpustakaan, tampak sesosok laki-laki bertubuh jangkung yang sedang menyusuri deretan buku-buku di lemari buku sastra. Laki-laki itu memakai kacamata dengan sentuhan warna hitam pada ganggangnya. Baju yang terangkai rapi dengan ketiga lipatan di belakang membuatnya tampak semakin manis. Wajahnya terlihat datar mengamati kalimat demi kalimat yang tertera pada sebuah buku. Terkadang senyum simpul tergambar di wajahnya yang memberikan kehangatan dalam hatiku. Dialah laki-laki yang membuat hari-hariku lebih berarti.

      Segala informasi tentangnya, koleksi foto yang kuambil dalam berbagai kesempatan saat ia sedang beraktifitas serta profilnya telah kuabadikan dalam secarik kertas yang tertempel rapi di majalah dinding kamarku yang hanya berukuran sekitar 1 x 0.5 m. Mario Dinata, siswa terfavorite yang tiap tahunnya meraih Peringkat I Umum sehingga menjadi idaman para wanita, siswa kelas XI IPA 4, berumur 17 tahun 4 bulan, tinggi 178 cm dan berat 50 kg, kulit kuning langsat dengan sentuhan alis yang tebal, motornya bermerk Mio Soul berwarna hijau dengan nomor kendaraan DD 3867 NS dan masih banyak lagi informasi-informasi detail tentangnya yang membuat majalah dindingku nyaris penuh.

  Bahkan berita tentang kedekatannya dengan Kirana Cantika, sekretaris OSIS di sekolahku juga tak luput dari coretan penaku pada lembaran kertas warna-warni di mading kamarku. Kirana Cantika memang wanita yang cantik dan pintar. Lelaki manapun tentu akan tertarik dengannya, termasuk Mario. Namun sebelum melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku tidak percaya dengan kabar yang memberitakan adanya hubungan special antara Mario dan Kirana. 
   
      Keesokan harinya pada saat istirahat, aku melihat Mario sedang mondar mandir di depan ruang guru. Wajahnya menyiratkan kebingungan. Aku tersenyum kecil melihat langkahnya yang pontang-panting, ia tampak sangat lucu. “Mungkin ini saatnya Tuhan, mungkin aku harus memberikan isyarat tentang perasaanku kepadanya.” Beberapa tumpukan buku  ditanganku sengaja kujatuhkan di hadapannya, berharap dia akan membantuku membereskan buku-buku tersebut. 

  Namun harapanku pupus, ketika sesosok wanita yang sudah tidak asing lagi bagiku meraih tangannya kemudian mengajaknya pergi dari tempat tersebut dengan terburu-buru. Dalam hitungan detik, Kirana dan Mario berlalu tanpa mempedulikanku yang tengah kesusahan membereskan buku-buku yang berserakan di lantai. Apakah dia tak peduli padaku ? Apakah aku hanyalah butiran debu yang tak berarti baginya? Hati kecilku menangis.

      Perjuanganku tak berakhir karena kejadian pahit tersebut. Sore hari, ketika aku mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, diam-diam aku menempelkan sebuah kertas yang telah dihiasi sedemikian rupa pada majalah dinding sekolah. Sebenarnya, tidak ada yang istimewa dari kertas tersebut. Hanya berisi lirik lagu yang berjudul “Mengejar Matahari” dan pada sudut kanan bawahnya kutuliskan “Untuk MD” sebagai inisial namanya. Lagu tersebut melambangkan bagaimana perasaanku padanya, seorang wanita yang tidak istimewa yang menyukai lelaki istimewa.

 Mario bagaikan sebuah matahari, yang senantiasa memancarkan sinarnya, memberikan kehangatan di muka bumi ini, membuat semua orang mengaguminya. Dan aku sadar, aku bagaikan tanaman kecil dibarisan paling belakang sedang menanti cahaya matahari yang tak kunjung datang. Namun, aku yakin suatu saat nanti dapat memperoleh cahaya matahariku.

      Pikiranku mulai menerawang jauh mencoba mengamati perjuanganku selama ini. Aku sadar Mario pasti tidak mengerti makna dari lagu yang kutulis dalam secarik kertas tersebut. Aku hanya berharap ia membaca lagu tersebut meskipun hanya sesaat. Tiba-tiba lamunanku pecah akibat sebuah pemandangan yang cukup menyakitkan hatiku. Di hadapanku, aku menyaksikan Mario dengan sepeda motornya yang masih berkilau dan belum lecet sedikitpun menggandeng Kirana. Mereka terlihat mesra. Bahkan tangan kanan Kirana melingkar di pinggang Mario. 

Apakah benar mereka berpacaran ? Apakah kabar yang kuterima selama ini  bukanlah angin lalu belaka ? Hatiku mulai melakukan penyangkalan namun pikiranku mencoba menerjemahkan kebenaran dari informasi yang kuperoleh sebelumnya. Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku, “Sudah aku katakan. Mereka berdua itu sepasang kekasih. Kamu nggak peduli sih !”, sahut Anji yang turut menjadi penyebar berita tentang Mario dan Kirana . Tanpa kusadari, hatiku yang seolah retak turut mengajak kakiku untuk berlari secepatnya menuju rumah. Untung saja, jarak rumahku tak jauh dari sekolah hanya sekitar 100 meter.

      Sesampainya di rumah, aku segera mengunci diri di dalam kamar. Aku tak kuasa lagi menahan tangis. Tanganku mencoba membuka laci meja belajar secara perlahan. Aku ingin mengambil selembar kertas berwarna untuk menuliskan suasana hatiku saat ini. Namun tiba-tiba saja tulang pergelangan tanganku terasa nyeri bahkan sulit digerakkan. Tanpa sengaja aku menjatuhkan laci tersebut sehingga berbagai lembaran kertas di dalamnya ikut terjatuh dan berserakan di lantai. Aku tidak mengerti mengapa tanganku seolah tak mendengarkan perintahku untuk membereskan kertas-kertas yang berserakan.

       Pandanganku tiba-tiba tertuju pada sebuah amplop yang berlogo Rumah Sakit Umum Tenriawaru Watampone. Amplop berwarna putih tersebut tak asing lagi bagiku bahkan amplop tersebut pernah menjadi bagian dari kisah suramku. Perlahan aku membuka amplop tersebut lalu menarik selembar kertas yang terdapat di dalamnya.  Aku mengamati kata demi kata yang tertera pada kertas tersebut. Mataku kembali berlinang air mata saat membaca sebuah kalimat “Anda dinyatakan positif terjangkit Leukemia Limfositik Kronis”.

      Tuhan, ingatanku kembali pada masa lalu. Masa yang penuh dengan penderitaan dan tangisan. Disaat seorang dokter menyiratkan wajah prihatin padaku. Seorang remaja berusia 15 tahun yang terjangkit Leukemia yang lebih akrabnya disebut Kanker Darah Putih. Salah satu jenis kanker di dunia yang menyerang sel darah putih yang diproduksi oleh sumsum tulang sehingga mengakibatkan sel darah putih berkembang tidak normal atau abnormal. 

Penyakit ini cukup mematikan, bahkan Dokter telah menyatakan umurku hanya tinggal beberapa bulan lagi. Namun Tuhan berkata lain, ia menganugerahkanku orang tua yang sangat menyayangiku dan setia mendampingiku, serta seorang lelaki yang secara tidak langsung menjadi semangat hidup bagiku. Dialah Mario, aku selalu berharap untuk dapat bersamanya suatu saat nanti. 

Keinginanku itu membuatku berusaha untuk bertahan. Bahkan aku semakin giat belajar, agar dapat menunjukkan citra yang baik kepadanya meskipun dalam kondisi yang lemah. Kini, keadaan berkata lain. Mario bukanlah untukku dan hanyalah bayangan semu bagiku. Dengan hati yang tidak begitu rela, aku mulai berusaha untuk melupakannya. Ia telah bersama dengan orang lain. Dia tidak membutuhkanku dan aku harus berusaha untuk menghindarinya.

      Tiba-tiba setetes darah menetes pada kertas hasil diagnosa tersebut. “Ya Allah, aku mimisan lagi,” batinku. Aku segera menuju toilet dan membersihkan darah segar yang keluar melalui hidungku. Tubuhku terasa sangat lemah, kepalaku sakit, semua tulangku terasa nyeri, napasku semakin sesak dan kini muncul jentik merah dengan ukuran bervariasi pada kulitku. 

Ayah dan Ibu mulai menyadari keadaanku ketika mendengar sebuah suara aneh terdengar dari kamarku. Mereka pun segera membawaku ke rumah sakit terdekat. Sesuai dugaanku, dokter mendiagnosa bahwa penyakit leukimiaku yang kronis dan sempat memberikan tanda-tanda kesembuhan telah memberontak kembali dan kini menjadi lebih akut. Akhirnya dokter memutuskan agar aku dirawat di rumah sakit.

      Selama berada di rumah sakit, keadaanku tidak kunjung membaik. Bahkan penyakit itu semakin melakukan perlawanan terhadap segala bentuk pengobatan yang diberikan kepadaku. Namun disaat-saat kritis seperti itu, aku memutuskan untuk dirawat di rumah. Aku ingin segera berada di kamarku dan merasakan kembali atmosfer kehidupan yang nyata tanpa adanya rasa sakit atau tangis.

      “Dini, jika itu keinginanmu. Ayah dan Ibu tak bisa menolak.” Akhirnya ayah memenuhi keinginanku meskipun dengan sedikit paksaan olehku. Aku senang dapat menginjakkan kaki di rumah. Kini aku dapat melupakan segala kesakitan yang kurasakan. Namun pada kenyataannya, setiap malam aku tetap mengalami demam dan mimisan. Kelenjar getah bening pada leher dan ketiakku mulai mengalami pembengkakan diiringi dengan tubuhku yang semakin kurus. 

Meskipun hanya terbentur oleh benda-benda yang tidak begitu keras, tubuhku dapat menyisakan luka lebam dan setiap menggosok gigi gusiku selalu saja berdarah. Dalam kondisi yang cukup lemah, akupun mencoba meraih sebuah buku yang kuletakkan di atas meja belajarku sehari sebelum aku dilarikan ke rumah sakit. Aku tersenyum melihat buku tersebut, “Kau akan berada di tangan yang tepat”, kataku pada buku tersebut seolah buku yang menyerupai album foto itu adalah seorang manusia yang dapat berinteraksi denganku.

      Aku merasa hidupku sudah tidak lama lagi, aku merasa napasku hanya tinggal beberapa menit lagi. Aku merasa lelah, aku ingin beristirahat dengan tenang. Aku tidak ingin lagi  merepotkan ayah dan ibu. 

Aku pun segera memanggil kedua orang tuaku. “Ayah, Ibu,” sahutku dengan suara yang samar-samar. Ayah yang sedari tadi menjagaku di kamar dan Ibu yang baru saja kembali dari dapur segera mendekatiku. “Ada apa anakku ?,” seru mereka hampir bersamaan. “Ayah, Ibu aku ingin meminta bantuan kalian,”. “Silahkan saja Dini !”sahut ayah. “Tolong Yah, Bu. Berikan buku ini pada seorang lelaki bernama Mario Dinata ketika ia datang menjengukku.” Ayah dan Ibu hanya mengangguk lesu sambil menggenggam tanganku. “Ayah, Ibu. Jangan khawatir ! Aku selalu bersama kalian, di dalam hati kalian,”. Ayah dan Ibu kembali mengangguk disertai dengan isak tangis. “Jaga hati kalian ! Karena aku akan selalu ada disana,”tambahku. Beberapa detik kemudian, aku tersenyum lalu menghembuskan napas terakhir.
*------*
Mario ...
 
      Pagi itu, sekolah tiba-tiba gempar dengan sebuah pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh kepala sekolah. Beliau mengatakan bahwa seorang Siswa SMA Negeri 156 Watampone yang bernama Dini Riskayanti telah berpulang ke Rahmatullah dan para murid diperintahkan untuk segera melayat ke kediaman Almarhumah. Aku sendiri tidak begitu mengenal pemilik nama yang disebutkan tadi. 

Sekilas ingatanku memberikan bayangan, mungkin saja Dini Riskayanti itu adalah wanita yang selama ini selalu bertingkah aneh ketika berada di dekatku. Aku juga tidak mengerti dengan segala tindakan wanita itu. Dia memang sangat aneh. Namun, sebagai bentuk penghormatan terakhir, akupun ikut melayat ke kediaman Almarhumah.

      Beberapa menit kemudian aku memutuskan untuk kembali ke sekolah dan tidak mengikuti acara pemakaman jenazah. Namun sesosok tubuh yang diselimuti pakaian dan selendang berwarna hitam menahanku. Menurut informasi yang kuperoleh tadi, orang itu adalah ibu dari Almarhumah. “Nak, kamu yang bernama Mario Dinata?”tanyanya. “I..... Iya Bu,”jawabku gugup. “Ini ada kenang-kenangan untukmu dari Dini,”. Ibu itu pun segera berlalu. Dengan wajah yang sedikit bingung, aku mengamati bingkisan yang diberikan oleh Ibu tadi. Aku memutuskan untuk membukanya ketika sampai di sekolah.

      Sekolah masih tampak sepi, hanya ada sekitar 12 siswa yang juga telah kembali dari rumah duka. Sambil menikmati sebotol softdrink dan duduk melantai di taman sekolah, aku mulai membuka bingkisan yang diberikan kepadaku oleh orang tua Dini. Perlahan, aku melepaskan pita perekat yang direkatkan pada bingkisan tersebut. 

Ternyata isinya adalah sebuah buku yang berjudul Kasih Tak Sampai. Aku pun mulai membuka halaman demi halaman pada buku tersebut. Di dalamnya terdapat foto-fotoku dalam berbagai pose, profil lengkapku, dan informasi-informasi menarik lainnya tentangku. Diantara lembaran-lembaran halaman yang berisi foto tersebut juga terselip puisi indah yang khusus dibuatkan Dini Riskayanti untukku. Sebuah puisi yang mengungkapkan perasaannya padaku selama ini. 

Air mataku mulai menetes ketika membaca sebuah kalimat, “Aku masih sanggup menunggumu lebih lama. Namun, mungkin waktuku tidak akan mampu. Meskipun kau tidak pernah mengenal dan menyayangiku, aku tetap bersyukur karena telah diberi kesempatan untuk mengenal dan menyayangimu. Matahariku,”

      Di bawah tulisan tersebut, terdapat sebuah goresan pena, sebuah puisi indah dan penuh makna yang menimbulkan rasa penyesalan dalam hatiku.

Mungkin dia tidak akan tahu
Betapa aku memujanya
Mungkin dia tidak akan tahu
Betapa ku sangat merindukannya
Mungkin dia tidak akan tahu
Aku sepi tanpanya ..
 
Mungkin dia tidak pernah tau
Bagaimana aku mencintainya
Mungkin dia tidak pernah tahu
Telah lama kupendam rasa ini ...
 
Namun dia harus tahu ..
Cintaku tak lekang oleh waktu
Ku akan selalu menyayanginya
Walau perih yang kurasa
Ku akan selalu mencintainya
Dalam sisa hidupku
 
Biarkanlah cinta ini abadi
Meski dia tidak akan pernah tahu ..
 
     “Betapa besar pengorbanan seorang Dini Riskayanti kepadaku. Aku minta maaf karena tidak mampu membalas perasaanmu. Aku minta maaf karena seringkali mengabaikanmu. Aku minta maaf karena telah menyakitimu. Aku minta maaf karena telah membuatmu menunggu.” Rasa bersalah timbul di benakku.

     Kini aku berjanji untuk selalu membahagiakan orang-orang yang menyayangiku. Aku sadar, bahwa merekalah yang terpenting bagiku. Aku akan membuat Dini bangga terhadapku. Dini, kamu akan menjadi kenangan yang indah dalam hidupku. Meskipun tidak banyak waktu yang kita lalui bersama. Sejak itu, aku sering mengunjungi makam Dini dan meletakkan sepucuk surat yang berisi karya-karya puisiku di atas batu nisannya. Untuk seseorang yang kini telah dipeluk bumi dan tidur dalam diam, terima kasih untuk seluruh cinta. 
 
 
~THE END~
 
 
 
 
Created by : RENY KARTINI wiff NURAINI (My Besties)
                     Jl. DR. Wahidin Sudiro Husodo Watampone, Sulawesi Selatan, Indonesia
                     www.renykartinixdua@yahoo.com





0 komentar: